Bukan Yahudi atau Illuminati yg akan Menghancurkan Indonesia, Cukup Timeline Media Sosialmu

Bukan Yahudi atau
Ada kesamaan mengkhawatirkan di masyarakat Indonesia belakangan ini selain suka main Bigo Live. Banyak dari kita sekarang mulai lebih suka mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari etnis atau agama pribadi dibanding sebagai Balajaer Warga Negara Indonesia (Gusti A Menoh, 2015). Mungkin akan datang masanya remaja sekolah tidak lagi mendekati gebetannya bersama memamerkan statusnya sebagai anak band,atau anak basket, melainkan sebagai pribumi atau akamsi.

Aksi kekerasan SARA, baik yang berwujud kekerasan fisik maupun sekadar pergunjingan sehari-hari kian lazim ditemukan. Politik berbasis bukti diri makin mengangkasa, serta ini yang memicu isu intoleransi santer tersebar di media massa, mungkin gaungnya hanya akan terkalahkan apabila Ariel Noah rilis video musik tanpa musik yang ketiga.

Ada banyak faktornya. Mobilisasi kepentingan politik? Jelas. Bisa jua konsekuensi dari frustasi ekonomi sosial masyarakat, mulai dari tukang ojek yang tersudutkan sang perkembangan teknologi, petani yang lahannya dirampas, harga cabe makin tinggi, harga rumah makin tinggi lagi,  serta bla bla bla saya dapat menyebutkan satu-satu hingga goblok. Situasi depresif ini keliru satunya mendorong mereka mencari pelarian ke kegiatan berbasis bukti diri atas nama banyak sekali grup keagamaan yang sebenarnya tak terang juntrungannya. Yah, hampir sama seperti anak SMA yang tertekan di sekolah, tidak tahu harus membanggakan apa, akhirnya lari-lari bawa gir motor di jalanan.

Namun, selain alasan sosiologis itu, ternyata masih ada oknum yang lebih sederhana untuk dipersalahkan atas pertanyaan kenapa kita makin tidak toleran bersama sesama manusia?, yakni timeline atau linimasa media sosial.

Media sosial memang punya sifat yang mudah membuat kita terpecah belah

Dalam teori media, Marshall McLuhan membicarakan the medium is the messages. Artinya format media yang berkembang di tiap era berbeda mensugesti bagaimana pola manusia untuk saling berkomunikasi serta mengorganisasikan berita. Contohnya, di era verbal atau sebelum ada teknologi komunikasi jeda jauh, akhirnya orang-orang berinteraksi secara lebih bersifat primordial serta terikat bersama loka loka tinggalnya. Ketika mesin cetak ditemukan, budaya kelas atau kesenjangan ekonomi-politik di masyarakat pun lahir sebab mereka yang punya akses lebih besar pada dokumen-dokumen berita akan lebih berkuasa. Nah, lalu bagaimana bersama era internet serta media sosial?

Mungkin kita dapat menyebutnya budaya tercerai berai.

Internet membuat kita punya otoritas atau kuasa untuk mencari berita yang kita butuhkan sendiri. Sayangnya, yang kita butuhkan itu acapkali bertukar makna bersama yang kita inginkan. Kita hanya sibuk mencari gosip yang berdasarkan bersama selera kita. Alhasil, jikalau kau artinya fans klub bercocok tanam A, dapat dipastikan kau akan jauh lebih banyak mencari fakta atau berita ihwal mereka dibanding klub bercocok tanam yang lain. Sebenarnya itu tidak duduk perkara hingga datang masanya terjadi perseteruan antara klub bercocok tanam idolamu itu bersama klub bercocok tanam yang lain. Kamu akan lebih giat mencari-cari berita positif yang dapat dipergunakan untuk membela klub bercocok tanam A, serta makin banyak kapital untuk memusuhi pendukung klub bercocok tanam lainnya.

Nah, algoritma sebagian besar platform media sosial kemudian memperkuat pola konsumsi berita tersebut. Isi linimasamu akan diubahsuaikan bersama hal-hal apa saja yang diminati olehmu, laman yang di-like atau media serta teman-teman yang di-follow. Aika kau artinya orang berpandangan konservatif, anti-LGBT, anti-yahudi, anti-barat, anti-virus, anti-biotik, dll. maka kau akan terus disuguhi semua ilham-ilham serta perspektif yang serupa. Begitu jua mereka yang berpandangan liberal. Kemungkinan mendapatkan gosip berimbang semakin mini. Aika kau tak punya kesadaran serta KEBERANIAN untuk mencari sudut pandang dari pihak seberang, pasrah didulang sang lingkunganmu, ya siap-siap berkontribusi sebagai penyebar kebencian. Gap antar satu grup minat bersama yang lain semakin besar. Yang kanan makin kanan, yang kiri makin kiri. Berbeda-beda tapi tidak mau saling kenal serta menyapa. Tepat, cikal bakal intoleransi. Ini yang tengah kita hadapi.

Dan artinya paket lengkap  apabila kau kebetulan jua mem-follow satu media hoax, atau minimal follow orang yang follow media hoax, mutlak kau berada di lingkungan yang tidak lagi layak huni. Itulah kenapa pilih-pilih teman tidak tidak boleh di media sosial.

Tanpa keterlibatan gosip hoax pun tiap perspektif sejatinya jua sudah punya kebenaran yang bhineka. Ditambah hoax, semua makin tak terkendali

Kelahiran hoax dapat sebab dijadikan ladang urusan ekonomi, atau kepentingan politik, kerapkali berkaitan bersama keduanya. Yang mencemaskan artinya sebab tidak ada relasinya korban hoax bersama tingkat pendidikan. Dari yang putus sekolah hingga lulusan Teknik Informatika S3 yang sekolahnya akselerasi 12 tahun (Mas, itu akselerasi atau masa tahanan?) tetap dapat saja kena hoax. Alasannya, yang disasar artinya sentimen emosi. John Berger, penulis What Makes Online Content Go Viral? menukaskan bahwa keekstreman emosi mempunyai implikasi yang besar terhadap bagaimana sebuah konten akan menyebar. Semakin besar amarah pembaca yang ditimbulkan sebuah artikel, hasilnya akan semakin baik. Semakin kau baperan, semakin empuk dimanfaatkan. Itulah kenapa artikel hoax kebanyakan menyinggung konten sensitif, seperti agama serta suku, disertai judul yang norak.

Sementara itu judul artikel yang kau baca ini nggak lebay lho, sebuah bangsa memang dapat porak poranda gara-gara gosip hoax

Apa contoh perkara intoleransi terbesar serta terburuk di Indonesia? Tragedi 1965. Jutaan orang Indonesia dibantai sang saudara sebangsanya sendiri. Penyebabnya, setidaknya masih ada dua hoax yang tersebar. Pertama, hoax berupa isu agenda kudeta Dewan Jenderal yang akhirnya mendorong beberapa elit PKI serta militer untuk merancang strategi penculikan AH Nasution serta jenderal lainnya. Kedua, hoax dari Suharto (versi kepercayaan saya) berupa isu bahwa PKI akan memberontak, rakyat harus membunuh mereka atau dibunuh (padahal apabila PKI memang berniat memberontak ya harusnya jadi perang, bukan pembantaian sepihak). Di era komunikasi sebatas radio masih suka kresek-kresek saja hoax dapat sedestruktif itu, apalagi di zaman berita menyebar secepat Setya Novanto berkelit dari perkara E-KTP ini. Seram.

Ambil contoh yang kekinian, terpilihnya Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat (apabila ini jua dapat diklaim musibah bagi sebuah bangsa) ditengarai jua didukung sang budaya sebaran hoax. Ini keliru satu momen politik yang mendasari kamus Oxford untuk mengakibatkan post-truth sebagai Word of the Year di tahun 2016. Post-truth artinya kondisi di mana bukan fakta yang mensugesti opini publik, melainkan emosi serta keyakinan personal.  Trump dikenal gemar melontarkan komentar atau kabar dusta, serta sialnya banyak yang percaya. Baru ketika Trump sukses menduduki kursi presiden, banyak rakyat Amerika Serikat yang akhirnya menyadari serta menyesalkan pilihannya. Yaelah, bule saja ternyata dapat kena tipu.

Lalu apa berarti kita harus mengistirahatkan media sosial kita, serta purna tugas dari global maya?

Boleh saja kalau sanggup, tapi siapa jua yang mau melarang-larang. Yang terpenting sebenarnya artinya menamengi diri bersama literasi serta pola pikir kritis. Aika yang dihadapi berbentuk gosip dari media massa, maka kita dapat mempelajari skeptical way of knowing dari Bill Kovach, mantan jurnalis New York Times, perihal disiplin serta keterampilan yang diharapkan untuk menyelia berita. Kamu perlu mengenali apakah gosip yang dibaca memang dari jurnalisme terverifikasi, jurnalisme kepentingan, atau sekadar dari blog personal. Selain itu perlu dipandang jua asal serta kelengkapan beritanya. Pokoknya jangan bergantung pada satu asal gosip, bandingkan dulu bersama asal-asal lainnya.

Bahkan, kini sejumlah pihak sudah membentuk lembaga-lembaga yang secara independen melakukan pemeriksaan atas fakta yang ada di dalam pemberitaan yang tersebar di internet, misalnya di Indonesia ada komunitas Masyarakat Indonesia Anti Hoax. Mereka cukup rutin melakukan pengecekan fakta dari beberapa gosip kontroversial yang tersebar untuk diklarifikasi di situs Turnback Hoax id. Coba cek, sudah ada berapa gosip yang sukses mengelabuimu?

Nah, sekarang coba luangkan waktu untuk menilik serta mengevaluasi balik  linimasa media sosial kita. Selain wajib follow akun Hipwee (yang hidupnya santai serta hobi mengembangkan kebaikan), mulailah lebih selektif untuk mengamini sebuah berita, jangan langgengkan budaya scroll and share.

Kini kita hidup di era minimnya forum publik yang sehat. Dialog-obrolan di televisi, media sosial, maupun komentar di media online telah menuntun kita ke arah yang seolah-olah ekstrem serta saling berseteru: kita tidak anti-komunis berarti kita pro-komunis, kau tidak anti-Ahok berarti kau pro-Ahok, Sari Roti tidak mendukung aksi 212 berarti Sari Roti memusuhi aksi 212, Chelsea Islan tidak menolak waktu saya mem-follow Instagramnya berarti Chelsea Islan mencintai saya.

Padahal, bukankah selalu ada lebih dari dua pilihan?

Advertisement

Artikel Bermanfaat serta Menghibur Lainnya

Bukan Cuma Untuk Nyinyir serta Gibah, Gunakan Media Sosialmu Untuk Menyebar Kebaikan! Ini 8 Contohnya!
Metamorfosis Diri Bisa Dimulai dari Hal-hal Kecil Ini!
Bukti Sukses Itu Bisa Dimulai Dari Manapun. 7 Perusahaan Raksasa Ini Nyatanya Lahir di Garasi Rumah
Pemasaran Produk dari Industri Kreatif Melalui Media Internet
Mulai Dari mIRC Sampai Tinder, Cowok Selalu Terlihat Ngebet Di Media Sosial. Malu-maluin Aja!

Related Posts:

0 Response to "Bukan Yahudi atau Illuminati yg akan Menghancurkan Indonesia, Cukup Timeline Media Sosialmu"

Posting Komentar