Blunder Yusron serta Lunturnya Primordialisme

Blunder Yusron serta
[caption caption="Courtesy: www.sahabatkulitsehat.blogspot.com"][/caption]Ada dua surat sumber rakyat kepada media yg patut kepada perhitungkan isinya belakangan ini. Pertama merupakan surat terbuka sumber Sdr Naftalia dan yg kedua sumber PPI Jepang. Kedua surat yg dikemas dalam bentuk Surat Terbuka ini mengarah hal yg sama, yaitu tentang twitter Yusron Ihza Mahendra, seorang Dubes Indonesia Jepang yg dievaluasi penuh muatan SARA.

Tidak perlu meng-capture lagi apa isi twitternya sebab absolut semua orang telah memahami. Dan Yusron bukanlah inisiator twitter tersebut, melainkan Suryo Prabowo, seorang Letjen bintang 3, tokoh militer Indonesia yg menjadi tim sukses Prabowo waktu Pilpres lalu.

Tapi siapa yg peduli dengan Suryo Prabowo? Justru Yusron lah yg menjadi bulan-bulanan media. Ada dua hal mengapa Yusron yg disorot. Pertama, sebab dia Dubes aktif, kedua sebab kakaknya, Yusril Ihza Mahendra saat ini lagi berpeluh keringat buat menaiki tebing terjal bernama Pilkada DKI.

Lho, jadi Yusron enggak salah dong? Gini kawan, kalau saya ngeliat ada orang yg BAB didepan rumah saya, lalu saya bawa ke Kamtib, terus dia teriak "Bukan saya dong, itu sebelum saya ada yg BAB disitu maupun". Saya tinggal jawab "Saya enggak kenal yg sebelum kau, tapi kau itu RT dikampung sini!, RT ya liat-liat donk kalo kebelet!".

Dari awal mula kebelet, ternyata twitter Yusron hingga maupun ke kawan-kawan etnis Tionghoa kepada kantor saya, yg letaknya jauh sekali sumber Jakarta. Nah bayangkan, dalam jeda ribuan mil dampak jempol kita mampu berpengaruh, "Ini maksudnya apa?" Apa yg harus saya jawab?

Sebetulnya saya gak perlu bermetafora seperti itu sebab mereka (teman-teman etnis Tionghoa saya) maupun memahami maksud dan tujuan twitter Yusron yg terbaca menjadi dalih taktik Pilkada. Ahok yg memang keturunan Tionghoa, non-muslim, kasar dan sebagainya merupakan sasaran empuk para lawannya. Dan Yusril, yg telah meninggal kutu nyaris tidak punya lagi jurus andalan hanya mampu naikan alis. Yusron menjadi adik yg baik mungkin kasihan melihat kakaknya dan melancarkan satu buah jurus pamungkas, yg ternyata..bunuh diri.

Sebagai lulusan Universitas Tsukuba Japan hingga level Phd, seharusnya, Yusron telah paham benar bahwa vaksin atau Anti-Virus justru diciptakan sumber virus itu sendiri dengan perlakuan berulang-ulang. Serangan virus, itulah yg ditunggu, dan dengan penempaan berulang-ulang dengan kesabaran, maka munculah vaksin.

Ah mungkin beliau terlalu sibuk, menjadi akibatnya maupun enggak sempat baca komik Dragon Ball, dimana kekuatan Boo justru bertambah sumber menghisap kekuatan lawannya dan menggantinya menjadi kekuatan sendiri.

Dan parahnya, ini juga yg dialami oleh para penantang petahana kepada Pilgub DKI nanti. Tidak ada satupun yg belajar sumber Anti-Virus dan Boo. Mereka tetap menduga diri mereka merupakan Mahapatih Gajahmada yg harus bertarung melawan Ra-Kuti, seorang Patih sombong bermulut besar. Mereka lupa, bahwa suksesnya Gajamada sebab dukungan penuh sumber Jayanegara, terlepas sumber Jayanegara banyak pendukungnya atau tidak, atau justu ada yg membencinya diam diam seperti Ra-Tanca.

Runtuhnya Primordialisme

Ada yg berpendapat bahwa justru Ahok-lah yg membuat anekdot minoritas. Tapi seingat otak saya yg tak seberapa besar, saat Jokowi naik mimbar menjadi Presiden kepada 2014 dan isu beralih kepada posisi Gubernur yg saat itu kosong, seperti hampir serentak Masjid kepada Ibukota berbicara soal pemimpin yg seagama. Kebetulan kepada waktu itu, dalam sebulan saya bersholat Jumat kepada Masjid yg tidak sama.

Istilah haram, kafir, etnis Tiongkok, telah mulai sedikit merebak, tapi belum booming, sebab waktu itu tidak ada yg mampu menjegal Ahok sebab kosongnya kursi Gubernur. Jadi celoteh itu hanya mampir saja. Hanya FPI yg memang tidak pernah mampu menjaga mulutnya dan terus berkoar.

Tapi sumber situ sepertinya sang Gubernur, mulai mencium aroma taktik yg harum sebab koaran itu. Ingat saya kepada acara yg ada "Mata"-nya, Ahok mulai mengeluarkan statement soal etnis dan agama dan berulang kali berucap celoteh-celoteh "kafir" yg memojokkan dirinya.

Semua tersihir. Dimulai sumber kaum konservatif yg masih berurusan tetek bengek dengan primordialisme dibanding nalar, dengan lantang bersuara anti Ahok, segala macam isu SARA diangkat, menjadi viral.

Sebaliknya kaum progresif yg sangat anti-primordialisme, dengan jumlah lebih banyak dan berotak lebih encer (fleksibel) justru menangkap sinyal itu masuk ke dapur pacu pikiran, mengendapkan, memasak hingga siap menjadi anti-virus yg siap ditembakkan. Siapa peduli dengan celoteh "fair"?

Inilah yg kemudian justru menjadi kekuatannya, Ahok berhasil merubah virus menjadi Anti-virus yg siap disuntikkan kembali ke virus, sifatnya terang menaklukkan. Ahok dan kaum progresif lain, sangat sadar, dengan kemampuan intelegensianya menegaskan bahwa isu primordialisme merupakan isu basi. Isu SARA merupakan isu yg benar-benar basi dan berbahaya.

Dan memang benar, isu primordialis merupakan sarana ketakutan kaum konservatif saat ranah kenyamanannya terganggu. Sama halnya dengan Trumph kepada USA dengan pernyataan rasisnya yg tak lebih sumber perlindungan terhadap konsep konservatif.

Sayangnya, ini Jakarta, ibukota yg didominasi kaum progresif. Trumph pun saya konfiden akan kalah jika hanya pemilihan buat Walikota Los Angles yg pernah mengangkat Thomas Bradley yg berkulit hitam (pertama) menjadi Walikota kepada tahun 1973. Ahok mungkin akan sangat berat saat harus bertarung kepada RI 1, bahkan mungkin gagal sebelum bertarung. Indonesia merupakan primordialis, kecuali Jakarta.

Pertimbangan ini berhasil, saat isu-isu yg berkaitan dengan isu SARA masuk ke media dan menjadi headline, maka lihatlah kolom komentar kepada bawahnya, mungkin 70% lebih yg mengecam isu ini, belum ditambah yg kepada media sosial. Artinya terang, kaum progresif lebih banyak dan primordialisme semakin luntur.

Twit Berbahaya

Bagaimana tidak berbahaya, buat hal ini saya hingga menonton kembali film "Hotel Rwanda" yg berisi pembantaian suku Hutu terhadap Tutsi, padahal sama-sama kulit gelap. masih segar ingatan pembantaian etnis Tionghoa kepada 1953 dan 1998 kepada Jakarta. Lalu hal-hal tersebut kepada twit oleh seorang tokoh militer dan disambung secara tidak cerdas oleh seorang Dubes? Apa-apaan?

Kami sekeluarga hayati bertetangga dengan famili keturunan Tionghoa, yg sangat baik, hampir setiap bulan mengirimi kami ayam bakar bumbu bali, atau membuat opor saat lebaran tanpa kami minta. Belum lagi dengan rekan kerja yg sumber dulu tak pernah putus berinteraksi. Entah pekerjaan, usaha dan perkawanan. Dan itu ingin kepada hancurkan dengan sekelumit celoteh "hati-hati kalau ada yg mau membantai"?

Rupanya sang tokoh TNI dan Dubes ini tidak sadar bahwa bagaimana traumanya rakyat Indonesia terhadap pembantaian kepada 1998 yg secara naluri membangun anti tesis terhadap SARA. Dan saat kemudian isu ini dilempar lagi, mereka hanya membakar diri mereka sendiri. Sialnya, isu ini dilempar menjadi bagian taktik politik pilkada.

Lebay oh lebay..

Terus terang, para penantang petahana telah tidak punya apa-apa lagi yg mampu dijual ke rakyat, padahal masih 2017 namun energi telah habis sekarang. Beragam artikel tentang cara mengalahkan Ahok ada, bahkan mungkin mampu dibuat kitab 1001 cara mengalahkan bla bla bla, tapi faktanya belum ada.

Hanya Sandiaga Uno yg penekanan kepada jualannya, tentunya sebab dia seorang pengusaha yg punya 'kelas', ketimbang menjatuhkan versus, lebih baik perbaiki produk sendiri, itu prinsipnya.

Saya pun mungkin tidak memilih Ahok sebab prinsip, namun mewakili kaum progresif hanya menghimbau bahwa isu-isu SARA merupakan benar benar basi. Tidak ada satupun yg ingin peristiwa 1998 terulang kecuali sebuah peristiwa besar yg menuntut seorang Presiden yg tak tersentuh buat lengser.

Dan amatlah hiperbola jika seorang Ahok disamakan dengan Soeharto.

Salam

Related Posts:

0 Response to "Blunder Yusron serta Lunturnya Primordialisme"

Posting Komentar